Sunda dan Rasis
Udah mulai adem masalahnya karena sang wakil rakyat menyadari besarnya tekanan, bukan hanya dari rakyat grass root tapi juga tokoh yang jadi teladan.
Meminta maaf jalan terbaik mesti merasa tak bersalah dan merasa orang lain yang salah memahami perkataannya, termasuk media.
Aku bingung, di negeri ini banyak sekali 'oknum' pejabat/penguasa/pengusaha/orang kaya dan semacamnya yang tingkah lakunya lebih dulu ada ketimbang pemikirannya. Mulutnya lebih dulu bersuara baru otaknya mikir, parahnya perilaku ini menjalar hingga rakayat jelata.
Padahal sedari kecil kita diajari tatakrama, saling menghormati, saling tenggang rasa. Kita tidak diajari untuk sama dan kita jua tak diajari untuk menjadi satu, kita diajari untuk BERsama dan lebih baik kita BERsatu. Banyaknya perbedaan di negeri ini adalah anugerah dan harus menjadi berkah bukan menjadi alasan pecah.
Kita hidup di tanah heterogen yang tanaman saja bermacam-macam bisa tumbuh, apalagi manusia. Dengan akal dan mulutnya yang bisa lebih liar dari hewan buas, manusia dibekali pemikiran untuk bisa membedakan mana yang salah dan benar paling tidak yang sesuai kesepakatan, walau tanpa agama tiada kepercayaan.
Mudah Tersinggung
Saya juga bingung, karena hukum lemah dalam penegakkan non pidana perdata atau yang mengarah etika serta adab, orang-orang yang ter-SARA-kan mudah sekali tersinggung. Lewat kekuatan media sosial mereka membumbungkan api SARA lebih tinggi dan lebih besar hingga muncullah ambiguitas kritik, upaya keadilan, dan polah kebencian.
Tak hanya Sunda yang kali ini tokoh yang dianggap antagonis adalah wakil rakyat sendiri, daerah atau bahasa atau suku atau subsuku atau bentuk rupa dan kebiasaan lain pernah terjadi. Pelakunya pesohor juga yang mungkin kalian tak tahu minimal mereka mendapat somasi. Tuntutan hukum jika tidak minta maaf siap dilaporkan ke polisi.
Apalagi terkait agama, aku tambah pusing!
Orang yang dianggap kurang kompeten tapi serampangan bicara agama, bahkan banyak yang sengaja semaunya untuk mencari api kebencian dalam celah perbedaan tiap ajarannya.
Sebutlah nama siapa yang sudah dipenjara karena menghina agama? Ya, nama itu sangat terkenal dalam dekade ini. Digadang-gadang menjadi pemimpin yang bisa memajukan Indonesia sayang mulutnya maju duluan ketimbang empati dan nuraninya.
Ada lagi beberapa yang disematkan gelar 'ulama'. Seharusnya mereka alim alias tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya mereka lakukan. Paling tidak meski menjelaskan perbedaan, harapannya tidak ada kata atau kalimat kebencian.
Kita memang beda kawan dan zaman ini meng-abu-abu-kan perbedaan itu. Bahwa yang berbeda itu tabu dan semuanya mesti sama serta walau beda, anggap saja sama.
Tak sedikit orang dengan kategori bodoh dalam pemahaman agama tapi menganggap semua agama sama. Keyakinannya dicampur adukkan dengan frasa persatuan negara dimana menurutnya inilah kebenaran hakiki, kebenaran dalam ideologi.
Padahal kita jelas-jelas beda, apa kamu mau menerima disamakan dengan saya? Anggap nilai ujian saya 50, nilai ujian kamu 80 dan penguji menyamakan nilai kita berdua menjadi sama-sama 65 karena dianggap memenuhi keadilan apa kamu MAU MENERIMA?
Itu baru bicara analogi persamaan hasil ujian bagaimana dengan hal yang personal, privat, dan skaral tentang budaya dan ketuhanan. Masih mau dianggap sama?
Kalau kita sudah sadar dan berdamai dengan segala konflik perbedaan, seharusnya kita bisa fokus memikirkan kemajuan bangsa ini. Mental kita kuat jika ada yang berlaku SARA dan tentunya kita akan menghindari perilaku seperti yang dilakukan Arteria.
Kita akan mengabaikan itu, karena memperuncing perbedaan hanya akan menusukkan racun kebencian diantara hati kita yang penuh kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Komentar Anda mencerminkan kualitas akal Anda